Pada kesempatan kali ini saya akan mengangkat fenomena yang sedang
marak yaitu pemakaian jilbab yang salah kaprah
(dikenal dengan sebutan JILBOOBS). Sebelumnya saya ingin membuka tulisan
dengan sebuah pernyataan bahwa terlepas dari apa yang akan saya sampaikan, di
sini tujuan utama saya adalah berusaha untuk berpikir kritis dan juga obyektif.
Tidak ada tujuan untuk menggurui atau menyalahkan siapa pun.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjrmuvquL9jKMwLhBI7amhyWHcD9NRF85Edn35WfT0HwCAnXGVWzjcPENhLLAbtG9zRB2fFW6tsdo7SV5vdaX9dS4aSyxTKZRdcLHQC8WkKH98i1ncPZ8hs5m3Fge3ShixhrDl9PzGxfXvG/s1600/images+(12).jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjX0CUXNwHDiEJGZCwxuN8DtIyfIHToPePCK0Jhv9Y1vLctEL8d280q0vqPa3QGKybRHFjwV81tuO6Pp0Ne_LcIgPAGI6pbDUOdCwSKnZYIvVvte5fH6FvFrAmVJEXwHsulAL-TON_1kx_e/s1600/images+(14).jpg)
Kewajiban berjilbab
diyakini oleh umat Muslim sebagai hal yang mutlak. Di surat Al-Ahzab ayat 59
Allah memerintahkan Nabi Muhammad menyampaikan kewajiban menutup aurat kepada
wanita Muslim:
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang yang Mukmin: ‘Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”.
Ayat ini muncul karena saat
istri-istri Rasul keluar rumah untuk buang hajat, banyak orang-orang munafik
yang menyakiti dan mengganggu mereka. Ketika ditanya oleh Nabi Muhammad
orang-orang munafik tersebut menjawab,
“Kami hanya mengganggu hamba sahaya (budak)
saja”
Kemudian turunlah ayat diatas. Dengan
tujuan utama agar wanita-wanita Muslim bisa dibedakan dari budak. Dan agar
mereka bebas dari gangguan yang merendahkan.
Jika ditilik dari
etimologinya “jilboobs” adalah gabungan dari kata “jilbab” dan “boobs”
(payudara wanita, diartikan dari bahasa Inggris informal). Orang Indonesia
memang layak mendapat gelar paling kreatif dalam menciptakan istilah dan
akronim. Wanita yang dijuluki jilboobs adalah mereka yang
mengenakan penutup kepala atau jilbab tapi masih mengenakan pakaian yang
membentuk payudara.
Kata
“boob” sendiri secara formal datang dari kata serapan Bahasa Spanyol
dalam Bahasa Inggris yang berarti umpatan untuk “orang yang bodoh”. Baru pada
tahun 1930-an novelis Henry Miller menggunakan kata “boobies” dalam
novel The Tropic of Cancer:
Istilah jilboobs merupakan sindiran kepada para
perempuan muslim yang mengenakan hijab, tetapi sangat ketat sehingga lekuk
tubuhnya terlihat jelas, terutama bagian dada. Hal tersebut jelas tidak sesuai
dengan konsep berpakaian Islam yang syar’i, yakni tertutup, tidak membentuk lekuk tubuh (longgar),
dan tidak tembus pandang (transparan).
Belakangan, tren ini cukup marak
terlihat. Biasanya para pelaku masih remaja, dan berkeinginan untuk mengenakan
jilbab, sebagaimana tugas seorang muslimah. Namun apa daya, demi mengikuti
zaman, yang terlihat justru seolah para remaja ini secara tidak sadar telah ‘melecehkan’ agama mereka sendiri. Menurut Stanley Hall (dalam
Santrock 2003), remaja cenderung ingin selalu menjadi pusat perhatian. Karena
itu, wajar bila dalam berpakaian mereka juga selalu berusaha tidak pernah
tertinggal mode. Hal itu sejalan dengan pendapat pakar psikologi pendidikan
dari Universitas Indonesia (UI) Dr Rose Mini Ap MPsi bahwa fenomena jilboobs muncul karena sejumlah perempuan
muslim berusaha keras agar terlihat mampu mengikuti fashion (tren mode), tetapi tidak mengerti
bahwa yang dilakukan itu justru keliru dan menyalahi aturan busana muslim yang syar'i.
Karena itu,
menghakimi jilboobers (pengguna jilboobs) secara sepihak
jelas hanya akan membuat mereka merasa dilecehkan. Bukan tidak mungkin akibat
penghakiman sepihak dan bullying yang terus-menerus malah membuat
mereka melepas dan meninggalkan hijabnya. Karena itulah, mengatasi fenomena jilboobs itu harus dilakukan dari dua sisi.
Yaitu, dari internal diri remaja dan desainer maupun pengusaha garmen, terutama
yang menyasar pasar busana muslim di tanah air.
Cara-cara persuasif harus dikedepankan dalam memberikan
pengarahan berhijab yang syar’i. Hal itu penting dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran
diri secara alami dan tanpa paksaan pada diri remaja. Misalnya, memberikan
teguran secara halus, selalu memberikan contoh berhijab yang syar’i, dan selalu menekankan nilai-nilai agama dalam
berbusana. Selain itu, upaya persuasif akan berdampak jangka panjang daripada
menggunakan upaya-upaya yang bersifat paksaan maupun otoriter (Burgon &
Huffer, 2002). Sementara itu, bagi para desainer maupun pengusaha garmen,
penting diberikan pemahaman agar mereka tidak hanya mengutamakan unsur modis
dalam mendesain pakaian muslim, namun juga harus memenuhi unsur kepatutan serta
kepantasan sesuai dengan syariat-syariat Islam.
Dalam
berislam, seseorang pasti melalui proses. Demikian pula hikmah yang dipetik
dari fenomena jilboobs. Awalnya, mungkin karena faktor tidak tahu, kita atau
orang-orang di sekitar merasa biasa-biasa saja memakai kerudung, lantas berbaju
ketat. Namun, dengan masifnya pemberitaan jilboobs, kita tentu menjadi tahu
mana yang benar dan mana yang keliru. Seorang muslimah sudah sepatutnya tidak
ragu untuk berjilbab sesuai dengan norma agama. Demikian pula lelaki, tidak
perlu mencerca para pengguna jilboobs berlebihan sementara dirinya masih sibuk
mencari foto-foto jilboobers di internet.
Tuntutan agar
wanita yang berjilbab segera mengenakan pakaian longgar dan menutup dadanya
sepatutnya dibarengi dengan perbaikan mental masyarakat kita. Sampai kapanpun
tubuh wanita akan tetap terlihat berlekuk. Tidak peduli seberapa tebal lapisan
pakaian yang dikenakannya. Selama lelaki tidak bisa menjaga pandangannya,
selama wanita belum berhenti dipandang sebagai makhluk berdada mancung yang
layak dinikmati tubuhnya oleh khalayak, fenomena macam jilboos ini
tidak akan pernah berakhir. Dan wanita akan kembali jadi korbannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar