YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 12 September 2014

Awas!! Wabah Fenomena JILBOOBS

Pada kesempatan kali ini saya akan mengangkat fenomena yang sedang marak yaitu pemakaian jilbab yang salah kaprah (dikenal dengan sebutan JILBOOBS). Sebelumnya saya ingin membuka tulisan dengan sebuah pernyataan bahwa terlepas dari apa yang akan saya sampaikan, di sini tujuan utama saya adalah berusaha untuk berpikir kritis dan juga obyektif. Tidak ada tujuan untuk menggurui atau menyalahkan siapa pun.
Hendak menjadi muslimah yang taat sekaligus trendi, beberapa di antara kaum hawa  justru tanpa sadar memamerkan lekuk tubuh yang merupakan aurat. Padahal, fungsi jilbab adalah menutup aurat. Wanita kembali jadi pihak yang disalahkan dalam kasus ini. Mereka yang memilih mengenakan jilbab namun masih memperlihatkan dadanya dianggap lalai dan layak jadi bahan pembicaraan. Tapi apa benar hanya mereka yang patut disalahkan? Adakah sisi lain yang perlu kita pertimbangkan?


Busana berjilbab terkait dengan keagamaan, dalam hal ini adalah Islam, esensinya berada dalam seperangkat aturan. Lazim diketahui bahwa bagian-bagian tubuh tertentu, termasuk didalamnya adalah payudara, harus ditutup dan tidak terekspos. Dari hal ini, fenomena jilboobs jelas menjadi perbincangan yang kontroversial. Standpoint yang diambil orang-orang pun bukan sekedar berbeda-beda.
Kewajiban berjilbab diyakini oleh umat Muslim sebagai hal yang mutlak. Di surat Al-Ahzab ayat 59 Allah memerintahkan Nabi Muhammad menyampaikan kewajiban menutup aurat kepada wanita Muslim:
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang yang Mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”.
Ayat ini muncul karena saat istri-istri Rasul keluar rumah untuk buang hajat, banyak orang-orang munafik yang menyakiti dan mengganggu mereka. Ketika ditanya oleh Nabi Muhammad orang-orang munafik tersebut menjawab,
Kami hanya mengganggu hamba sahaya (budak) saja”
Kemudian turunlah ayat diatas. Dengan tujuan utama agar wanita-wanita Muslim bisa dibedakan dari budak. Dan agar mereka bebas dari gangguan yang merendahkan.
Jika ditilik dari etimologinya “jilboobs” adalah gabungan dari kata “jilbab” dan “boobs” (payudara wanita, diartikan dari bahasa Inggris informal). Orang Indonesia memang layak mendapat gelar paling kreatif dalam menciptakan istilah dan akronim. Wanita yang dijuluki jilboobs adalah mereka yang mengenakan penutup kepala atau jilbab tapi masih mengenakan pakaian yang membentuk payudara.
Kata “boob” sendiri secara formal datang dari kata serapan Bahasa Spanyol dalam Bahasa Inggris yang berarti umpatan untuk “orang yang bodoh”. Baru pada tahun 1930-an novelis Henry Miller menggunakan kata “boobies” dalam novel The Tropic of Cancer:
Istilah jilboobs merupakan sindiran kepada para perempuan muslim yang mengenakan hijab, tetapi sangat ketat sehingga lekuk tubuhnya terlihat jelas, terutama bagian dada. Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan konsep berpakaian Islam yang syar’i, yakni tertutup, tidak membentuk lekuk tubuh (longgar), dan tidak tembus pandang (transparan).


Belakangan, tren ini cukup marak terlihat. Biasanya para pelaku masih remaja, dan berkeinginan untuk mengenakan jilbab, sebagaimana tugas seorang muslimah. Namun apa daya, demi mengikuti zaman, yang terlihat justru seolah para remaja ini secara tidak sadar telah ‘melecehkan’ agama mereka sendiri. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock 2003), remaja cenderung ingin selalu menjadi pusat perhatian. Karena itu, wajar bila dalam berpakaian mereka juga selalu berusaha tidak pernah tertinggal mode. Hal itu sejalan dengan pendapat pakar psikologi pendidikan dari Universitas Indonesia (UI) Dr Rose Mini Ap MPsi bahwa fenomena jilboobs muncul karena sejumlah perempuan muslim berusaha keras agar terlihat mampu mengikuti fashion (tren mode), tetapi tidak mengerti bahwa yang dilakukan itu justru keliru dan menyalahi aturan busana muslim yang syar'i.
Karena itu, menghakimi jilboobers (pengguna jilboobs) secara sepihak jelas hanya akan membuat mereka merasa dilecehkan. Bukan tidak mungkin akibat penghakiman sepihak dan bullying yang terus-menerus malah membuat mereka melepas dan meninggalkan hijabnya. Karena itulah, mengatasi fenomena jilboobs itu harus dilakukan dari dua sisi. Yaitu, dari internal diri remaja dan desainer maupun pengusaha garmen, terutama yang menyasar pasar busana muslim di tanah air.
Cara-cara persuasif harus dikedepankan dalam memberikan pengarahan berhijab yang syar’i. Hal itu penting dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran diri secara alami dan tanpa paksaan pada diri remaja. Misalnya, memberikan teguran secara halus, selalu memberikan contoh berhijab yang syar’i, dan selalu menekankan nilai-nilai agama dalam berbusana. Selain itu, upaya persuasif akan berdampak jangka panjang daripada menggunakan upaya-upaya yang bersifat paksaan maupun otoriter (Burgon & Huffer, 2002). Sementara itu, bagi para desainer maupun pengusaha garmen, penting diberikan pemahaman agar mereka tidak hanya mengutamakan unsur modis dalam mendesain pakaian muslim, namun juga harus memenuhi unsur kepatutan serta kepantasan sesuai dengan syariat-syariat Islam.
Dalam berislam, seseorang pasti melalui proses. Demikian pula hikmah yang dipetik dari fenomena jilboobs. Awalnya, mungkin karena faktor tidak tahu, kita atau orang-orang di sekitar merasa biasa-biasa saja memakai kerudung, lantas berbaju ketat. Namun, dengan masifnya pemberitaan jilboobs, kita tentu menjadi tahu mana yang benar dan mana yang keliru. Seorang muslimah sudah sepatutnya tidak ragu untuk berjilbab sesuai dengan norma agama. Demikian pula lelaki, tidak perlu mencerca para pengguna jilboobs berlebihan sementara dirinya masih sibuk mencari foto-foto jilboobers di internet.
Tuntutan agar wanita yang berjilbab segera mengenakan pakaian longgar dan menutup dadanya sepatutnya dibarengi dengan perbaikan mental masyarakat kita. Sampai kapanpun tubuh wanita akan tetap terlihat berlekuk. Tidak peduli seberapa tebal lapisan pakaian yang dikenakannya. Selama lelaki tidak bisa menjaga pandangannya, selama wanita belum berhenti dipandang sebagai makhluk berdada mancung yang layak dinikmati tubuhnya oleh khalayak, fenomena macam jilboos ini tidak akan pernah berakhir. Dan wanita akan kembali jadi korbannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar