September
2014, yang dialami rakyat Indonesia ternyata tidak SECERIA dengan judul lagu
yang dilantunkan oleh penyayi lawas wanita mama
Ina alias Vina Panduwinata
(September Ceria), hal ini dikarenakan pada akhir bulan ini telah terjadi
“Pemerkosaan, Perampasan, Perampokan’ terhadap hak politik Rakyat, penghianatan
terhadap para pejuang Reformasi 1998. Para anggota dewan terhormat yang duduk
di Senayan telah mengesahkan keputusan (kemunduran sejarah) RUU Pilkada dimana
pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang notabanenya dipilih rakyat telah
akan menjadi ajang Pembagian kekuasaan Elit Partai yang berkoalisi besar di
Parlemen.
Tentu saja
Pilkada-pilkada yang telah kita lakukan selama kurang lebih 9 tahun memang
membutuhkan Evaluasi dan sudah pasti juga membutuhkan banyak perbaikan. Untuk
itu tentu tidak ada salahnya bagi DPR melakukan beberapa perbaikan dan
perubahan atas UU Pilkada tersebut agar dapat menjadi lebih efektif, lebih
maksimal dan lebih bermanfaat. Tapi kemudian yang menjadi masalah adalah adanya
kelompok-kelompok tertentu untuk mencoba mengambil keuntungan
dari pembahasan RUU ini demi kepentingan partainya maupun kepentingan
kelompoknya. Pembahasan RUU ini sebenarnya sudah dimulai bulan Mei lalu dan sudah ada pandangan
dari beberapa Fraksi untuk RUU ini. Sayangnya pada akhir september ini telah
ditetapkan bahwa Pilkada akan sama kondisinya seperti 10 – 20 tahun yang lalu
dimana Kepala Daerah dipilih oleh DPRD/DPRD Tingkat II.
Masalah
pemenangan Pilkada mengandung latar belakang multidimensional. Ada
yang bermotif harga diri pribadi (adu popularitas); Ada pula yang
bermotif mengejar kekuasaan dan kehormatan; Terkait juga kehormatan
Parpol pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang sering memaksakan diri
untuk maju. Di samping tentu saja ada yang mempunyai niat luhur untuk memajukan
daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa difahami,
karena “politics is the struggle over allocation of values in society” (Politik
merupakan perjuangan untuk memperoleh alokasi kekuasan di dalam
masyarakat). Pemenangan perjuangan politik seperti pemilu legislative
atau pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi fungsi-fungsi legislasi,
pengawasan budget dan kebijakan dalam proses pemerintahan (the process of
government). Dalam kerangka ini cara-cara “lobbying, pressure, threat,
batgaining and compromise” seringkali terkandung di dalamnya.
Masalah lainnya sistem perekrutan
calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan hanya
orang-orang yang mempunyai modal financial besar, serta popularitas tinggi,
yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar untuk
memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat dielakan maraknya korupsi
di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang calon,serta banyak
Perda-Perda yang bermasalah,dan memberatkan masyarakat dan iklim investasi.
Saya mencoba
mengevaluasi dari sudut pandang saya tentang apa kekurangan dan kelebihan
dari Pilkada Langsung. Begitu juga dengan Pilkada yang dilakukan lewat DPR, apa saja kelebihan dan
kekurangannya.
Pilkada Langsung
Ada beberapa keunggulan pilkada dengan
model pemilihan secara langsung.
Pertama, pilkada
secara langsung memungkinkan proses yang lebih Partisipasi. Partisipasi jelas
akan membuka akses dan kontrol masyarakat yang lebih kuat sebagai aktor yang
telibat dalam pilkada dalam arti partisipasi secara langsung merupakan prakondisi
untuk mewujudkan kedaulatan ditangan rakyat dalam konteks politik dan
pemerintahan.
Kedua, proses pilkada secara langsung
memberikan ruang dan pilihan yang terbuka bagi masyarakat untuk menentukan
calon pemimpin yang memiliki kapasitas, dan komitmen yang kuat serta legitimate dimata masyarakat sehingga pemimpin
yang baru tersebut dapat membuahkan keputusan-keputusan yang lebih baik dengan
dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas dan juga diharapkan akan
terjadinya rasa tanggung jawab secara timbal balik. Sang kepala daerah lebih
merasa mendapatkan dukungan dari masyarakat, sehingga kebijakan-kebijakan tentu
saja lebih berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. pada saat yang
sama, rakyat juga akan lebih mendukung kebijakan-kebijakan kepala daerah sebab
mereka telah berperan secara langsung dalam pengangkatan kepala daerah.
Ketiga, mendekatkan
elit politik dengan konstituen atau masyarakat. Diharapkan dengan pemilihan
seperti ini mayarakat akan lebih mengenal pemimpin mereka di daerah sehingga
akan memudahkan proses komunikasi politik di daerah.
Keempat, lebih
terdesentralisasi. Berbeda dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya, pemilihan
kepala daerah dilakukan pemerintah pusat dengan cara menunjuk atau menetapkan
aktor politik untuk menempati jabatan politik di daerah.
Beberapa
Kekurangan pilkada dengan model pemilihan secara langsung
Pertama, Biaya
yang dikeluarkan Pemerinta Cukup Besar. Pilkada-pilkada terdiri dari Pilgub 33
Propinsi dan 495 Kabupaten/ Kota. Biaya pelaksanaan Pilkada-pilkada dikeluarkan
untuk semua kebutuhan KPU seperti Gaji, Peralatan, Inventaris, Logistik dan
lainnya.
Kedua,
Sering
terjadi konflik horizontal selama dilaksanakannya Pilkada-pilkada di
daerah. Bahkan sering terjadi Anarkistis dan Pengrusakan fasilitas public.
Konflik itu juga sering menimbulkan ketegangan di masyarakat untuk waktu yang
lama, bahkan mungkin ada juga dendam.
Ketiga,
Rendahnya partisipasi dari masyarakat untuk mengikuti Pilkada. Mungkin bosan
dengan begitu banyaknya Pemilu.
Keempat,
Sering
terjadi Jor-joran dalam biaya kampanye oleh calon-calon Kepala daerah disertai
terjadinya money politic. Sehingga calon yang akhirnya menang setelah menjadi
Pemimpin sering korupsi untuk mengembalikan modal. Bahkan ada juga yang membuat
Dinasti Politik.
Pilkada
Lewat DPRD
Ada beberapa
keunggulan pilkada dengan model pemilihan lewat DPRD.
- Pertama, Mampu menekan Biaya Pelaksanaan. Negara akan mampu menghemat Trilyunan Rupiah.
- Kedua, Mampu menekan potensi terjadinya Konflik Horizontal. Ini bisa dikatakan sangat signifikan.
- Ketiga, Pilkada ini juga akan mengurangi biaya-biaya kampanye yang dikeluarkan calon kepala daerah.
Beberapa
Kekurangan pilkada dengan model pemilihan lewat DPRD
·
Tidak mampu merepresentasikan Aspirasi rakyat
mayoritas atau Keterwakilan rakyat.
·
Legitimasi Kepala Daerah lemah
dikarenakan Kualitas Demokrasi yang rendah dan tidak melibatkan rakyat
yang ada.
·
Sulit menghasilkan Pemimpin terbaik dari
tokoh-tokoh yang ada di daerah tersebut. Pilihan DPRD cenderung hanya pada
tokoh-tokoh yang dikenal oleh DPRD saja.
·
Memperbesar peluang terjadinya politik transaksional
antara calon kepala daerah dengan legislative pada saat Proses Pilkada
berlangsung.
·
Membuat Legislatif menjadi Superior terhadap
Eksekutif. Legislatif bukannya mengawasi Eksekutif bahkan mengendalikan
Eksekutif. Ini membuat Eksekutif lebih mementingkan kepentingan Legislatif
daripada kepentingan rakyat.
·
Eksekutif atau Kepala Daerah akan kurang
bertanggung-jawab pada kepentingan rakyat karena tidak merasa dipilih oleh rakyat.
·
Memperbesar Peluang terjadinya Kongkalikong antara
Eksekutif dan Legislatif untuk mengkorupsi anggaran pembangunan yang ada.
·
Berpotensi Kongkalikong Eksekutif-Legislatif untuk
pengeluaran izin-izin swasta terutama pemanfaatan kekayaan Negara seperti tambang,
Hutan dan lain sebagainnya.
·
Berpotensi menciptakan terjadinya Dinasti
Politik legislative dan eksekutif maupun Oligarki. Peluang ini sangat
besar juga potensi korupsi berjamaah.
·
Berpotensi terjadi politik remote control dimana
kepala-kepala daerah dipilih oleh elit-elit partai yang berada di pengurus
pusat partai.
·
Pilkada
ini tidak menjamin Kepala Daerah Terpilih Tidak akan melakukan Korupsi.
Menurut pemikiran saya, Pilkada
dengan model Pemilihan langsung maupun pemilihan lewat DPRD akan sama baiknya
jika para pejabat-pejabat public yang terpilih benar-benar berjuang atas nama
rakyat dan untuk kepentingan rakyat bukan untuk partai ataupun kelompok mereka
sendiri.
Potensi
Korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah dan Konflik Horizontal yang terjadi
di Pilkada semua ini sangat terkait erat dengan kepentingan-kepentingan
Partai Politik. Inilah Akar Masalah Sebenarnya. Bupati, Walikota, Gubernur,
Menteri hingga Presiden adalah jabatan-jabatan public. Alangkah indahnya negeri
ini kalau semua pejabat-pejabat public yang ada tidak terkontaminasi oleh
kepentingan-kepentingan dari partai-partai politik.
Saya
sangat yakin sekali bila setiap Pejabat Publik (eksekutif & legislatif)
yang dipilih rakyat bukan berasal dari Partai Politik maka dia akan bekerja lebih
bertanggung-jawab. Dan disisi lain para Legislatif yang ada di DPRD pun akan
melakukan sistim pengawasan yang maksimal dan
tidak akan segan-segan memberikan teguran kepada
Kepala Daerah bila melakukan kebijaksanaan yang tidak memihak rakyat.
Tulisan ini hanya sebatas pemikiran
saya seorang kaum sendal jepit secara objectif saja, saya tetap optimis bahwa
apa yang kemudian ditetepkan oleh para anggota dewan terhormat merupakan hal
yang terbaik untuk Rakyat, Bangsa dan Negri ini. Kalaupun mereka khilaf dalam
pemberian keputusan ini semoga Tuhan YME mengampuni mereka.
Teringat akan perkataan Ayah saya “Tidak ada pepatah yang mengatakan nasi
telah menjadi bubur. Meskipun nasi telah menjadi bubur, diberi ayam, bawang,
kerupuk dan kuah kari bubur itu pun akan menjadi bubur ayam yang kemudian masih
enak juga untuk dimakan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar